1.
DEFINISI
Trauma medulla spinalis adalah cidera
pada kolumna vertebralis, otot ligamen, diskus, dan gangguan pada medulla
spinalis oleh berbagai keadaan akibat trauma pada tulang belakang yang
disebabkan karena jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga dan sebagainya. Trauma pada tulang belakang menyebabkan
ketidakseimbangan kolumna vertebralis (faktor pergeseran satu atau lebih tulang
belakang) atau injuri saraf yang aktual maupun potensial sehingga mengakibatkan
defisit neurologis.
Trauma Medulla Spinalis adalah suatu
fraktur vertebra yang mengakibatkan disfungsi neurologis pada daerah servikal,
thoracal dan lumbal yang menyebabkan kelumpuhan extremitas bawah, disfungsi
defekasi dan berkemih. ( Brunner and Suddarth dalam Putra, 2002 ).
2.
ANATOMI FISIOLOGI
Dari batang otak berjalan suatu silinder
jaringan saraf panjang dan ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran
panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medulla
spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi
oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari
medulla spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruang-ruang
yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang
berdekatan.
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat
diperinci sebagai berikut :
a.
8 pasang saraf
servikal (C),
b.
12 pasang saraf
thorakal (T),
c.
5 pasang saraf
lumbal (L),
d.
5 pasang saraf
sakral (S), dan
e.
1 pasang saraf
koksigeal (Co).
Selama
perkembangannya, kolumna vertebra
tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan
pertumbuhan tersebut, segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal
dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang
sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis
sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis
itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua
(setinggi sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang
untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal
akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis vertebralis yang paling bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor kuda” karena penampakannya.
Walaupun
terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari medulla
spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla
spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi
oleh substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea
medulla spinalis terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya
antarneuron pendek, dan sel-sel glia.
Substansia
alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat saraf
(akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-berkas
itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla spinalis.
Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan
masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenali informasi yang
disampaikannya.
Perlu
diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal dipisahkan,
dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat mengganggu
sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia
grisea yang terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami
organisasi. Kanalis sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak
di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi
kornu dorsalis (posterior), kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis.
Kornu dorsalis mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron
aferen. Kornu ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang
mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan
otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak
di tanduk lateralis.
Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan
tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar spinalis dan akar ventral.
Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla spinalis melalui akar
dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar meninggalkan medulla melalui
akar ventral. Badan-badan sel untuk neuron-neuronaferen pada setiap tingkat
berkelompok bersama di dalam ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk
neuron-neuron eferen berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar
melalui akar ventral.
Akar ventral dan dorsal di setiap
tingkat menyatu membentuk sebuah saraf spinalis yang keluar dari kolumna
vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung serat-serat aferen dan eferen
yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis. Sebuah saraf
adalah berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang
dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama.
Sebagaian saraf tidak mengandung sel
saraf secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap
serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain.
Mereka berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang
berjalan dalam satu kabel, namun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat
pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel
yang sama.
Dalam medulla spinalis lewat dua traktus
dengan fungsi tertentu, yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden
berfungsi membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke
perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan
informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini
dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
a.
Informasi
eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan
raba, dan
b.
Informasi
proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi
Traktus desenden yang melewati medulla
spinalis terdiri dari:
1)
Traktus kortikospinalis,
merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan terlatih, berbatas
jelas, volunter, terutama pada bagian distal anggota gerak.
2)
Traktus
retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas neuron motorik
alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena itu, kemungkinan
mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas refleks.
3)
Traktus
spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural sebagai respon
terhadap stimulus verbal.
4)
Traktus
rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan gamma pada
columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot ekstensor atau
otot-otot antigravitasi.
5)
Traktus
vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor, menghambat aktivitas
otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas postural yang berhubungan
dengan keseimbangan.
6)
Traktus
olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.
Traktus asenden yang melewati medulla
spinalis terdiri dari:
1.
Kolumna
dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan berperan
dalam diskriminasi lokasi.
2.
Traktus
spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan ringan.
3.
Traktus
spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.
4.
Traktus
spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan,
traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan posisi dan
perpindahan.
5.
Traktus
spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama.
3.
KLASIFIKASI TRAUMA MEDULLA SPINALIS
a. Berdasarkan
Lokasi Cidera
Klasifikasi
cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain :
1.
Cedera Cervikal
·
Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan
otot platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami
paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional).
Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3
meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan
perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini
juga tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4
mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya
secara intermitten saja.
·
Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan,
fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis
intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan.
Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan
aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai
koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.
·
Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi
karena paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya
akan terjadi gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya
tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan
aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan
baju.
·
Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma
dan aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari
tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7
mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus.
Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui ekstrimitas
atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan memasak.
·
Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan
pada posisi duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat
diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi
duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu
hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan
mobil, merawat rumah, dan perawatan diri.
2.
Cedera Torakal
·
Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan
dengan diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan
lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial
dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti
kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.
·
Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen.
Dari tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat
12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah.
Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri.
Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
-
T2
Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
-
T3
Aksilla
-
T5
Putting susu
-
T6
Prosesus xifoid
-
T7, T8
Margin kostal bawah
-
T10
Umbilikus
-
T12
Lipat paha
3.
Cedera Lumbal
·
Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:
-
L1
Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang dari bokong.
-
L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga
atas aspek anterior paha
-
L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.
-
L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.
-
L5
Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel.
4.
Cedera Sakral
·
Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa
perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari
otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis,
perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.
b. Berdasarkan
Tingkat Keparahan
Klasifikasi
Frankel :
·
Grade A : motoris (-), sensoris (-)
·
Grade B : motoris (-), sensoris (+)
·
Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau
3, sensoris (+)
·
Grade D : motoris (+) dengan ROM 4,
sensoris (+)
·
Grade E : motoris (+) normal, sensoris
(+)
Klasifikasi
ASIA (American Spinal Injury Association)
·
Grade A : motoris (-), sensoris (-)
termasuk pada segmen sacral
·
Grade B : hanya sensoris (+)
·
Grade C : motoris (+) dengan kekuatan
otot < 3
·
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan
otot > 3
·
Grade E : motoris dan sensoris normal
4.
ETIOLOGI
1.
Kecelakaan lalu
lintas/jalan raya adalah penyebab terbesar
2.
Injury/jatuh
dari ketinggian’
3.
Kecelakaan
karena olahraga, tersering karena menyelam pada air yang sangat dangkal
4.
Luka jejas, luka
tajam dan luka tembak pada daerah vertebral
5.
Pergerakkan yang
berlebihan : hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebihan, stress lateral,
disfraksi, penekanan
6.
Gangguan lain
yang bisa menyebabkan trauma medulla spinalis seperti spondiliasis servikal
dengan meilopati yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cidera
progresif pada medulla spinalis dan akar sarafnya, mielitis akibat proses
inflamasi infeksi maupun non infeksi, osteoporosis, tumor infiltrat maupun
kompresi dan penyakit vaskular.
Faktor resiko :
1.
Jenis kelamin,
Pria 80 % lebih beresiko daripada wanita
2.
Usia 16-30
tahun, dengan alasan kecelakaan yang sering terjadi pada usia tersebut
3.
Olahraga,
beberapa kegiatan olahraga juga dapat menyebabkan trauma medulla spinalis,
misalnya gulat, menyelam di air dangkal, berselancar, roller-skating, in line
skating, hocley
4.
Memiliki
kelainan tulang dan sendi
Mekanisme trauma yang terjadi pada
tulang belakang yang memungkinkan terjadinya gangguan pada medula spinalis di
antaranya adalah sebagai berikut :
1.
Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan
disertai dengan sedikit kompresi pada vertebra. Vertebra mengalami tekanan
berbentuk remuk yang dapat menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligament
posterior. Apabila terdapat kerusakan ligament posterior, maka fraktur bersifat
tidak stabil dan dapat terjadi sublukasi.
2.
Fleksi dan
rotasi
Trauma jenis ini merupakan suatu trauma
fleksi yang bersama-sama dengan rotasi. Terdapat strain dari ligament dan
kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan ke
depan/dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak
stabil.
3.
Kompresi
vertikal (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara
langsung mengenai vertebra yang akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus
pulposus akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertical.
Material diskus akan masuk dalam badan vertebra menjadi rekah (pecah). Pada
truma ini elemen posterior masih intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat
stabil.
4.
Hiperekstensi
atau retrofleksi
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga
terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada
vertebra servikal dan jarang pada vertebra torako-lumbal. Ligamen anterior dan
diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis.
Fraktur ini biasanya bersifat stabil.
5.
Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang
menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan fraktur pada komponen lateral,
yaitu pedikel, foramen vertebra, dan sendi faset.
6.
Fraktur-dislokasi
Suatu trauma menyebabkan terjadinya
fraktur tulang belakang dan terjadi dislokasi pada ruas tulang belakang.
5.
PATOFISIOLOGI
6.
MANIFESTASI KLINIK
Deformitas
klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada
pasien yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap
pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk
menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang.
Tanda
dan gejala trauma medulla spinalis antara lain adalah:
1) Nyeri
pada area spinal atau paraspinal
2)
Nyeri
kepala bagian belakang, pundak, tangan, kaki
3)
Kelemahan/penurunan/kehilangan
fungsi motorik (kelemahan, paralisis)
4)
Penurunan/kehilangan
sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku, parestesis, hilang sensasi pada
suhu, posisi, dan sentuhan)
5)
Paralisis
dinding dada menyebabkan pernapasan diafrgma
6) Shock
dengan kecepatan jantung menurun
7) Priapism
8) Kerusakan
kardiovaskuler
9) Kerusakan
pernapasan
10) Kesadaran
menurun
11) Tanda
spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi: Flaccid paralisis di
bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas luka, hilangnya
reflek-reflek spinal di bawah batas luka, hilangnya tonus vasomotor
(hipotensi), Tidak ada keringat dibawah batas luka, inkontinensia urine dan
retensi feses à
jika berlangsung lama akan menyebabkan hiperreflek/paralisis spastic
12) Pemotongan
sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis, tidak simetrisnya
hilangnya reflek di bawah batas luka, beberapa sensasi tetap utuh di bawah
batas luka, vasomotor menurun, menurunnya bladder atau bowel, berkurangnya
keluarnya keringat satu sisi tubuh.
7.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Berdasarkan patofisiologinya, maka
sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan diagnostik trauma medulla spinalis
yang meliputi :
a.
Sinar X spinal :
Menentukan lokasi dan jenis cidera tulang (fraktur/dislokasi)
b.
CT-Scan :
Menentukan tempat luka/jejas
c.
MRI :
Mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
d.
Foto rontgen
thoraks : Mengerti keadaan paru-paru
e.
AGD :
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
8.
PENATALAKSANAAN
a.
Kegawatdaruratan
1)
Mempertahankan
ABC (Airway, Breathing, Circulation)
2)
Mengatur posisi
kepala dan leher untuk mendukung airway : head tilt, chin lip, jaw thrust.
Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan
pemasangan intubasi nasofaring.
3)
Stabilisasi
tulang servikal dengan manual support, gunakan neck collar, imobilisasi lateral
kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
4)
Stabililisasi tulang
servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen
5)
Menyediakan
oksigen tambahan.
6)
Memonitor
tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
7)
Menyediakan
ventilasi mekanik jika diperlukan.
8)
Memonitor
tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari hipotensi dan
bradikardi.
9)
Meningkatkan
aliran balik vena ke jantung.
a.
Berikan
antiemboli
b.
Tinggikan
ekstremitas bawah
c.
Gunakan baju
antisyok.
10) Meningkatkan tekanan darah
a.
Monitor volume
infuse
b.
Berikan terapi
farmakologi ( vasokontriksi)
11) Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan
denyut nadi jika terjadi gejala bradikardi.
12) Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan
memulihkan spinal cord : steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode
lebih dari 24 jam, dimulai dari 8 jam setelah kejadian.
13) Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui
tingkat kesadaran pasien.
14) Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan
kemungkinan aspirasi jika ada indikasi.
15) Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung
kemih.
b.
Medis
Penatalaksanaan medis pada penderita
trauma medulla spinalias adalah sebagai berikut :
1.
Konservatif
Penatalaksanaan konservatif terdiri atas
:
a.
Penatalaksanaan
Perkemihan, yaitu dengan pemasangan kateter urine dengan tujuan mempertahankan
sedikitnya 30 cc/jam.
b.
Penatalaksanaan
Pernafasan, dengan menggunakan ventilator mekanis, mengajarkan tehnik batuk
efektif untuk membantu membersihkan jalan nafas.
c.
Latihan Usus, tujuan
dari latihan usus ini adalah untuk mempertahankan dan mencapai kontinensia
usus.
d.
Perawatan Kulit,
dengan menggunakan krim / lotion, menggunakan alas untuk mencegah lembabnya
kulit di bawah permukaan tubuh, menggunakan sepatu yang cukup dengan ukuran
kaki untuk menghindari benturan dan gesekan kaki, memakai kaos kaki yang
terbuat dari bahan katun dan melakukan masase dengan teratur.
e.
Obat-obatan, Pemberian
farmakoterapi pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah pemberian
kortikosteroid dosis tinggi khususnya metil prednison untuk memperbaiki
prognosis dan mengurangi kecacatan bila diberikan dalam 8 jam cedera. Kemudian
pemberian steroid dosis tinggi seperti Mannitol (diberikan untuk menurunkan
edema), Dextran (diberikan untuk mencegah tekanan darah menurun dan memperbaiki
aliran daerah kapiler).
f.
Reduksi dan
Traksi Skeletal, Penatalaksanaan Trauma medulla spinalis memerlukan immobilisasi
dan reduksi dislokasi (memperbaiki posisi normal) dan stabilisasi columna
vertebra.
2.
Operatif
Penatalaksanaan tindakan operatif pada
penderita trauma medulla spinalis adalah Laminectomy. (Hudak and Gall dalam Moellate 2009)
9.
PROGNOSIS
Pada
awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi
komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien
dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi dikaitkan
dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius. Pasien dengan trauma
tulang belakang komplit berpeluang sembuh < 5 %. Jika terjadi paralisis
komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah 0 %.
Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris
masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali > 50 %.
10.
KOMPLIKASI
a)
Perubahan
tekanan darah
b)
Komplikasi
akibat immobilisasi
a. Deep Vein Trombosis
b. Infeksi pulmonal : atelektasis, pneumonia
c. Kerusakan integritas kulit : dekubitus
d. Kontraktur
c)
Kerusakan/kehilangan
sensasi
d) Peningkatan resiko injury pada bagian tubuh yang
mati rasa
e)
Meningkatkan
resiko gagal ginjal
f)
Meningkatkan
resiko infeksi saluran kemih
g)
Hilangnya
kontrol pada bladder dan bowel
h)
Disfungsi seksual
i)
Spasme otot
j)
Nyeri dan shock
k)
Paralysis otot
pernapasan
KONSEP ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS
1.
PENGKAJIAN
Data fokus pengkajian menurut Marylinn
E. Doengoes, et.al adalah sebagai berikut :
a.
Aktivitas / Istirahat
pada penderita Trauma Medulla Spinalis
adalah ditandai dengan kelumpuhan otot ( terjadi kelemahan selama syok
spinal ) pada / di bawah lesi, kelemahan umum / kelemahan otot ( trauma dan adanya kompresi saraf ).
b.
Sirkulasi pada
penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan hipotensi, bradikardi,
extremitas bawah dingin dan pucat, hilangnya keringat pada daerah yang terkena,
sedangkan gejalanya berdebar-debar saat melakukan perubahan posisi / bergerak.
c.
Integritas Ego
pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan menyangkal, sedih
dan marah, sedangkan gejalanya takut, cemas dan gelisah.
d.
Makanan / Cairan
pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan distensi abdomen,
peristaltik usus hilang, nafsu makan meningkat.
e.
Hygiene pada
penderita Trauma Medulla Spinalis di tandai dengan sangat ketergantungan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari.
f.
Neurosensori
pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai kelumpuhan, kelemahan,
kehilangan tonus otot / vasomotor, kehilangan reflek termasuk tendon dalam,
sedangkan gejalanya kesemutan, paralisis.
g.
Nyeri /
kenyamanan pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan
deformitas, nyeri vertebra, sedangkan gejalanya nyeri tekan otot.
h.
Pernafasan pada
penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan pernafasan dangkal,
dispneu, suara nafas ronkhi, pucat, sianosis, sedangkan gejalanya sulit
bernafas dan nafas pendek.
i.
Keamanan pada
penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan Gejala suhu yang
berfluktuasi ( suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar ).
j.
Seksualitas pada
pendertia Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan menstruasi tidak
teratur pada wanita, ereksi tidak terkendali pada pria, sedangkan gejalanya
adanya keinginan kembali seperti fungsi normal.
2.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul
pada kasus trauma medulla spinalis diantaranya adalah :
1.
Resiko tinggi
pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot
pernapasan, kelumpuhan otot diafragma
2.
Resiko tinggi
penurunan curah jantung berrhubungan dengan penurunan denyut jantung, dilatasi
pembuluh darah, penurunan kontraksi otot jantung sekunder akibat hilangnya
kontrol pengiriman dari baroreseptor akibat kompresi korda
3.
Nyeri
berhubungan dengan kompresi akar saraf servikalis, spasme otot servikalis
sekunder akibat cidera spinal stabil dan tidak stabil
4.
Gangguan
pemenuhan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan fungsi miksi sekunder
akibat kompresi medulla spinalis
3.
INTERVENSI KEPERAWATAN
1.
Resiko tinggi
pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot
pernapasan, kelumpuhan otot diafragma
Tujuan :
dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi ketidakefektifan pola nafas
Kriteria hasil :
·
RR dalam batas
normal (12-20 x/menit)
·
Tidak ada
tanda-tanda sianosis
·
AGD dalam batas
normal
·
Pemeriksaan
kapasitas paru-paru normal
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi fungsi pernapasan, catat
frekuensi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital
|
Distress pernapasan dan perubahan pada
tanda vital dapat terjadi akibat stress fisiologis yang menunjukkan
terjadinya shock. Trauma pada C1-C2 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan
secara parsial karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan
|
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien
untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam
|
Membantu klien menangani efek
fisiologis hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas
|
Pertahankan jalan napas, posisi kepala
tanpa gerak
|
Klien dengan cidera servikalis akan
membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/mempertahankan jalan nafas
|
Observasi warna kulit
|
Menggambarkan adanya kegagalan
pernapasan yang memerlukan tindakan segera
|
Kaji distensi perut dan spasme otot
|
Kelainan penuh pada perut disebabkan
karena kelumpuhan diafragma
|
Lakukan pengukuran kapasitas vital,
volume tidal, dan kekuatan pernapasan
|
Menentukan fungsi otot-otot
pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan
pernapasan
|
Pantau analisa gas darah
|
Untuk mengetahui adanya kelainan
fungsi pertukaran gas sebgai contoh hiperventilasi PaCO2 rendah
dan PaCO2 meningkat
|
Berikan oksigen dengan cara yang tepat
|
Metode dipilih sesuai dengan keadaan
insufisiensi pernapasan
|
Letakkan kantung resusitasi di samping
tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu-waktu digunakan
|
Kantung resusitasi dan manual
ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi
gangguan pada alat ventilator secara mendadak
|
2.
Resiko tinggi
penurunan curah jantung berrhubungan dengan penurunan denyut jantung, dilatasi
pembuluh darah, penurunan kontraksi otot jantung sekunder akibat hilangnya
kontrol pengiriman dari baroreseptor akibat kompresi korda
Tujuan :
Dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi penurunan curah jantung
Kriteria hasil :
·
Frekuensi nadi
dalm batas normal
·
Kualitas dan
irama nadi dalam batas normal
·
TD dalam batas
norma
·
CRT > 3 detik
·
Akral hangat
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji dan lapor tanda penurunan curah
jantung
|
Kejadian mortalitas dan morbiditas
sehubungan dengan cidera spinal C1-C6 yang tidak stabil meningkat sampai 48
jam pertama pasca cidera
|
Palpasi nadi perifer
|
Penurunan curah jantung dapat
menunjukkan menurunnya nadi, radial, popliteal, dorsalis pedis, dan
postibial, nadi mungkin hilang atau tidak teratur untuk di palpasi
|
Pantau adanya haluaran urin, catat
haluaran dan kepekatan/konsentrasi urin
|
Ginjal berespon untuk menurunkan curah
jantung dengan menahan cairan dan natrium, haluaran urin biasanya menurun
selama 2 hari karena perpindahan cairan ke jaringan tetapi dapat meningkat
pada malam hari sehingga caira kembali ke sirkulasi bila klien tidur
|
Kaji perubahan pada sensorik contoh
letargi, cemas dan depresi
|
Dapat menunjukkan ketidakadekuatnya
perfusi serebral sekunder terhadap penurunan curah jantung
|
3.
Nyeri
berhubungan dengan kompresi akar saraf servikalis, spasme otot servikalis
sekunder akibat cidera spinal stabil dan tidak stabil
Tujuan :
Dalam waktu 1x24 jam nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi
Kriteria hasil :
·
Secara subjectif
melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi
·
Skala nyeri 0-1
·
Dapat
mengidentifikasi kegiatan yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
·
Klien tidak
gelisah
Intervensi
|
Rasional
|
Jelaskan dan bantu klien dengan
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif
|
Pendekatan dengan nmenggunakan
relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri
|
Lakukan manajemen penangan nyeri
1.
Istirahatkan
leher, atur posisi fisiologis, dan pasang ban leher
|
Posisi fisiologis akan menurunkan
kompresi saraf leher. Pemasangan filsasi kolar servikal dapat menjaga
kestabilan dalam melakukan mobilisasi leher
|
2.
Lakukan masase
pada otot leher
|
Masase ringan dapat mningkatkan aliran
darah dan membantu suplai darah dan oksigen ke arah nyeroi leher akibat
spasme otot
|
3.
Ajarkan teknik
relaksasi napas dalam saat nyeri muncul
|
Meningkatkan asupan oksigen sehingga
akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia
|
4.
Ajarkan teknik
distraksi pada saat nyeri
|
Distraksi dapat menurunkan stimulus
internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin dan enkefalin yang
dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks serebri
sehingga menurunkan persepsi nyeri
|
Tingkatkan pengetahuan tentang
penyebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung
|
Pengetahuan yang diberikan akan
membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kapatuhan klien
terhadap rencana terapeutik
|
4.
Gangguan
pemenuhan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan fungsi miksi sekunder
akibat kompresi medulla spinalis
Tujuan :
Dalam waktu 1x24 jam eliminasi urin dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
·
Klien terlihat
mampu melakukan pemenuhan eliminasi urin secara bertahap
·
Klien mengetahui
cara latihan yang diberikan
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji tingkat pengetahuan dan kemampuan
klien dalam melakukan eliminasi urin
|
Mengidentifikasikan kemajuan atau
penyimpangan dari tujuan yang diharapkan
|
Lakukan pemasangan kateter
|
Kateterisasi akan mengeluarkan urin
dari kandung kemih dan meredakan inkontinensia urin
|
Ajarkan bladder training
|
Latihan kandung kemih atau bladder
training dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan pola normal perkemihan
dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran urin. Agar bladder training
ini berhasil, klien harus menyadari dan secara fisik mampu mengikuti program pelatihan
|
Monitoring kondisi pengeluaran
kateterisasi
|
Monitor awal untuk mendeteksi adanya
infeksi saluran kemih
|
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin,
Arif. 2008. Buku Ajar Auhan Keperawatan
dengan Gangguan Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Doengoes
E Marylinn., et.al. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC
Pratama,
Arif Lukman Hakim. 2013. Asuhan
Keperawatan Cidera Modulla Spinalis. (Online : http://online-ners.blogspot.com/2013/02/asuhan-keperawatan-cedera-medula.html)
Diakses tanggal 14 Maret 2014
Carissa,
Amelia. 2012. Anatomi dan Fisiologi
Medulla spinalis damn Medulla Oblongata. (Online : http://id.scribd.com/doc/127186172/85038367-ANATOMI-DAN-FISIOLOGI-Medulla-Spinalis-Dan-Oblongata.html)
Diakses tanggal 14 Maret 2014
Putra,
Arif. 2000. Trauma Medulla Spinalis. (Online
: http://id.scribd.com/doc/40032648/Trauma-Medula-Spinalis)
Diakses tanggal 14 Maret 2014
Moelatte,
Antox. 2012. Askep Trauma Medulla Spinalis.
(Online : http://id.scribd.com/doc/129007657/Askep-Trauma-Medulla-Spinalis.html)
Diakses tanggal 14 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar