Maret 16, 2014

LP Askep Trauma Medula Spinalis



1.                  DEFINISI

Trauma medulla spinalis adalah cidera pada kolumna vertebralis, otot ligamen, diskus, dan gangguan pada medulla spinalis oleh berbagai keadaan akibat trauma pada tulang belakang yang disebabkan karena jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan sebagainya. Trauma pada tulang belakang menyebabkan ketidakseimbangan kolumna vertebralis (faktor pergeseran satu atau lebih tulang belakang) atau injuri saraf yang aktual maupun potensial sehingga mengakibatkan defisit neurologis.
Trauma Medulla Spinalis adalah suatu fraktur vertebra yang mengakibatkan disfungsi neurologis pada daerah servikal, thoracal dan lumbal yang menyebabkan kelumpuhan extremitas bawah, disfungsi defekasi dan berkemih. ( Brunner and Suddarth dalam Putra, 2002 ).

2.                  ANATOMI FISIOLOGI

Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan.
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut :
a.       8 pasang saraf servikal (C),
b.      12 pasang saraf thorakal (T),
c.       5 pasang saraf lumbal (L),
d.      5 pasang saraf sakral (S), dan
e.       1 pasang saraf koksigeal (Co).

Selama perkembangannya, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis vertebralis yang paling bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor kuda” karena penampakannya.
Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel glia.
Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenali informasi yang disampaikannya.
Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis.
Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuron-neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral.
Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama.
Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang berjalan dalam satu kabel, namun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel yang sama.
Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
a.       Informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan
b.      Informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi

Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:
1)      Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian distal anggota gerak.
2)      Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena itu, kemungkinan mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas refleks.
3)      Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural sebagai respon terhadap stimulus verbal.
4)      Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot ekstensor atau otot-otot antigravitasi.
5)      Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor, menghambat aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas postural yang berhubungan dengan keseimbangan.
6)      Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.

Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:
1.      Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan berperan dalam diskriminasi lokasi.
2.      Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan ringan.
3.      Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.
4.      Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan, traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan.
5.      Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama.

3.                  KLASIFIKASI TRAUMA MEDULLA  SPINALIS

a.       Berdasarkan Lokasi Cidera

Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain :

1.      Cedera Cervikal

·         Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.

·         Lesi C5           
            Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.

·         Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju.

·         Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan memasak.

·         Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri.

2.      Cedera Torakal

·         Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.
·         Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri.
Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
-        T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
-        T3 Aksilla
-        T5 Putting susu
-        T6 Prosesus xifoid
-        T7, T8 Margin kostal bawah
-        T10 Umbilikus
-        T12 Lipat paha

3.      Cedera Lumbal

·         Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:
-        L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang    dari bokong.
-        L2  Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
-        L3  Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.
-        L4  Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.
-        L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel.




4.      Cedera Sakral                               

·         Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

b.      Berdasarkan Tingkat Keparahan

Klasifikasi Frankel :
·         Grade A : motoris (-), sensoris (-)
·         Grade B : motoris (-), sensoris (+)
·         Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
·         Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
·         Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)

Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
·         Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
·         Grade B : hanya sensoris (+)
·         Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
·         Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
·         Grade E : motoris dan sensoris normal

4.                  ETIOLOGI

1.      Kecelakaan lalu lintas/jalan raya adalah penyebab terbesar
2.      Injury/jatuh dari ketinggian’
3.      Kecelakaan karena olahraga, tersering karena menyelam pada air yang sangat dangkal
4.      Luka jejas, luka tajam dan luka tembak pada daerah vertebral
5.      Pergerakkan yang berlebihan : hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebihan, stress lateral, disfraksi, penekanan
6.      Gangguan lain yang bisa menyebabkan trauma medulla spinalis seperti spondiliasis servikal dengan meilopati yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cidera progresif pada medulla spinalis dan akar sarafnya, mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non infeksi, osteoporosis, tumor infiltrat maupun kompresi dan penyakit vaskular.

Faktor resiko :
1.      Jenis kelamin, Pria 80 % lebih beresiko daripada wanita
2.      Usia 16-30 tahun, dengan alasan kecelakaan yang sering terjadi pada usia tersebut
3.      Olahraga, beberapa kegiatan olahraga juga dapat menyebabkan trauma medulla spinalis, misalnya gulat, menyelam di air dangkal, berselancar, roller-skating, in line skating, hocley
4.      Memiliki kelainan tulang dan sendi

Mekanisme trauma yang terjadi pada tulang belakang yang memungkinkan terjadinya gangguan pada medula spinalis di antaranya adalah sebagai berikut :
            
1.      Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligament posterior. Apabila terdapat kerusakan ligament posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi sublukasi.

2.      Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan suatu trauma fleksi yang bersama-sama dengan rotasi. Terdapat strain dari ligament dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan ke depan/dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.

3.      Kompresi vertikal (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertical. Material diskus akan masuk dalam badan vertebra menjadi rekah (pecah). Pada truma ini elemen posterior masih intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil.

4.      Hiperekstensi atau retrofleksi
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada vertebra torako-lumbal. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat stabil.

5.      Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra, dan sendi faset.


6.      Fraktur-dislokasi
Suatu trauma menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang dan terjadi dislokasi pada ruas tulang belakang.






5.                  PATOFISIOLOGI

 














































6.                  MANIFESTASI KLINIK

Deformitas klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang.
Tanda dan gejala trauma medulla spinalis antara lain adalah:
1)      Nyeri pada area spinal atau paraspinal
2)      Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan, kaki
3)      Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan, paralisis)
4)      Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku, parestesis, hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan)
5)      Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafrgma
6)      Shock dengan kecepatan jantung menurun
7)      Priapism
8)      Kerusakan kardiovaskuler
9)      Kerusakan pernapasan
10)  Kesadaran menurun
11)  Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi: Flaccid paralisis di bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas luka, hilangnya reflek-reflek spinal di bawah batas luka, hilangnya tonus vasomotor (hipotensi), Tidak ada keringat dibawah batas luka, inkontinensia urine dan retensi feses à jika berlangsung lama akan menyebabkan hiperreflek/paralisis spastic
12)  Pemotongan sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis, tidak simetrisnya hilangnya reflek di bawah batas luka, beberapa sensasi tetap utuh di bawah batas luka, vasomotor menurun, menurunnya bladder atau bowel, berkurangnya keluarnya keringat satu sisi tubuh.



7.                  PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Berdasarkan patofisiologinya, maka sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan diagnostik trauma medulla spinalis yang meliputi :
a.       Sinar X spinal : Menentukan lokasi dan jenis cidera tulang (fraktur/dislokasi)
b.      CT-Scan : Menentukan tempat luka/jejas
c.       MRI : Mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
d.      Foto rontgen thoraks : Mengerti keadaan paru-paru
e.       AGD : Menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

8.                  PENATALAKSANAAN

a.      Kegawatdaruratan

1)      Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
2)      Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : head tilt, chin lip, jaw thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
3)      Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan neck collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
4)      Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen
5)      Menyediakan oksigen tambahan.
6)      Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
7)      Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
8)      Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari hipotensi dan bradikardi.
9)      Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
a.       Berikan antiemboli
b.      Tinggikan ekstremitas bawah
c.       Gunakan baju antisyok.
10)  Meningkatkan tekanan darah
a.       Monitor volume infuse
b.      Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi)
11)  Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi gejala bradikardi.
12)  Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal cord : steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari 8 jam setelah kejadian.
13)  Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien.
14)  Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan aspirasi jika ada indikasi.
15)  Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.

b.      Medis

Penatalaksanaan medis pada penderita trauma medulla spinalias adalah sebagai berikut :

1.      Konservatif
Penatalaksanaan konservatif terdiri atas :
a.       Penatalaksanaan Perkemihan, yaitu dengan pemasangan kateter urine dengan tujuan mempertahankan sedikitnya 30 cc/jam.
b.      Penatalaksanaan Pernafasan, dengan menggunakan ventilator mekanis, mengajarkan tehnik batuk efektif untuk membantu membersihkan jalan nafas.
c.       Latihan Usus, tujuan dari latihan usus ini adalah untuk mempertahankan dan mencapai kontinensia usus.
d.      Perawatan Kulit, dengan menggunakan krim / lotion, menggunakan alas untuk mencegah lembabnya kulit di bawah permukaan tubuh, menggunakan sepatu yang cukup dengan ukuran kaki untuk menghindari benturan dan gesekan kaki, memakai kaos kaki yang terbuat dari bahan katun dan melakukan masase dengan teratur.
e.       Obat-obatan, Pemberian farmakoterapi pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah pemberian kortikosteroid dosis tinggi khususnya metil prednison untuk memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila diberikan dalam 8 jam cedera. Kemudian pemberian steroid dosis tinggi seperti Mannitol (diberikan untuk menurunkan edema), Dextran (diberikan untuk mencegah tekanan darah menurun dan memperbaiki aliran daerah kapiler).
f.       Reduksi dan Traksi Skeletal, Penatalaksanaan Trauma medulla spinalis memerlukan immobilisasi dan reduksi dislokasi (memperbaiki posisi normal) dan stabilisasi columna vertebra.

2.      Operatif
Penatalaksanaan tindakan operatif pada penderita trauma medulla spinalis adalah Laminectomy. (Hudak and Gall dalam Moellate  2009)

9.                  PROGNOSIS

Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi  traktus urinarius. Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh < 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah 0 %. Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali > 50 %.
10.              KOMPLIKASI

a)        Perubahan tekanan darah
b)        Komplikasi akibat immobilisasi
a.       Deep Vein Trombosis
b.      Infeksi pulmonal : atelektasis, pneumonia
c.       Kerusakan integritas kulit : dekubitus
d.      Kontraktur
c)        Kerusakan/kehilangan sensasi
d)       Peningkatan resiko injury pada bagian tubuh yang mati rasa
e)        Meningkatkan resiko gagal ginjal
f)         Meningkatkan resiko infeksi saluran kemih
g)        Hilangnya kontrol pada bladder dan bowel
h)        Disfungsi seksual
i)          Spasme otot
j)          Nyeri dan shock
k)        Paralysis otot pernapasan














KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS

1.                  PENGKAJIAN

Data fokus pengkajian menurut Marylinn E. Doengoes, et.al adalah sebagai berikut :
a.       Aktivitas / Istirahat pada penderita Trauma Medulla Spinalis  adalah ditandai dengan kelumpuhan otot ( terjadi kelemahan selama syok spinal ) pada / di bawah lesi, kelemahan umum / kelemahan otot    ( trauma dan adanya kompresi saraf ).
b.      Sirkulasi pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan hipotensi, bradikardi, extremitas bawah dingin dan pucat, hilangnya keringat pada daerah yang terkena, sedangkan gejalanya berdebar-debar saat melakukan perubahan posisi / bergerak.
c.       Integritas Ego pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan menyangkal, sedih dan marah, sedangkan gejalanya takut, cemas dan gelisah.
d.      Makanan / Cairan pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan distensi abdomen, peristaltik usus hilang, nafsu makan meningkat.
e.       Hygiene pada penderita Trauma Medulla Spinalis di tandai dengan sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
f.       Neurosensori pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai kelumpuhan, kelemahan, kehilangan tonus otot / vasomotor, kehilangan reflek termasuk tendon dalam, sedangkan gejalanya kesemutan, paralisis.
g.      Nyeri / kenyamanan pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan deformitas, nyeri vertebra, sedangkan gejalanya nyeri tekan otot.
h.      Pernafasan pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan pernafasan dangkal, dispneu, suara nafas ronkhi, pucat, sianosis, sedangkan gejalanya sulit bernafas dan nafas pendek.
i.        Keamanan pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan Gejala suhu yang berfluktuasi ( suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar ).
j.        Seksualitas pada pendertia Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai dengan menstruasi tidak teratur pada wanita, ereksi tidak terkendali pada pria, sedangkan gejalanya adanya keinginan kembali seperti fungsi normal.

2.                  DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada kasus trauma medulla spinalis diantaranya adalah :

1.      Resiko tinggi pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernapasan, kelumpuhan otot diafragma
2.      Resiko tinggi penurunan curah jantung berrhubungan dengan penurunan denyut jantung, dilatasi pembuluh darah, penurunan kontraksi otot jantung sekunder akibat hilangnya kontrol pengiriman dari baroreseptor akibat kompresi korda
3.      Nyeri berhubungan dengan kompresi akar saraf servikalis, spasme otot servikalis sekunder akibat cidera spinal stabil dan tidak stabil
4.      Gangguan pemenuhan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan fungsi miksi sekunder akibat kompresi medulla spinalis

3.                       INTERVENSI KEPERAWATAN

1.      Resiko tinggi pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernapasan, kelumpuhan otot diafragma

Tujuan             : dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi ketidakefektifan pola nafas
Kriteria hasil    :
·         RR dalam batas normal (12-20 x/menit)
·         Tidak ada tanda-tanda sianosis
·         AGD dalam batas normal
·         Pemeriksaan kapasitas paru-paru normal

Intervensi
Rasional
Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital
Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi akibat stress fisiologis yang menunjukkan terjadinya shock. Trauma pada C1-C2 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara parsial karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam
Membantu klien menangani efek fisiologis hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas
Pertahankan jalan napas, posisi kepala tanpa gerak
Klien dengan cidera servikalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/mempertahankan jalan nafas
Observasi warna kulit
Menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera
Kaji distensi perut dan spasme otot
Kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma
Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal, dan kekuatan pernapasan
Menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan
Pantau analisa gas darah
Untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebgai contoh hiperventilasi PaCO2 rendah dan PaCO2 meningkat
Berikan oksigen dengan cara yang tepat
Metode dipilih sesuai dengan keadaan insufisiensi pernapasan
Letakkan kantung resusitasi di samping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu-waktu digunakan
Kantung resusitasi dan manual ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada alat ventilator secara mendadak

2.      Resiko tinggi penurunan curah jantung berrhubungan dengan penurunan denyut jantung, dilatasi pembuluh darah, penurunan kontraksi otot jantung sekunder akibat hilangnya kontrol pengiriman dari baroreseptor akibat kompresi korda

Tujuan             : Dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi penurunan curah jantung
Kriteria hasil    :
·         Frekuensi nadi dalm batas normal
·         Kualitas dan irama nadi dalam batas normal
·         TD dalam batas norma
·         CRT > 3 detik
·         Akral hangat

Intervensi
Rasional
Kaji dan lapor tanda penurunan curah jantung
Kejadian mortalitas dan morbiditas sehubungan dengan cidera spinal C1-C6 yang tidak stabil meningkat sampai 48 jam pertama pasca cidera
Palpasi nadi perifer
Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi, radial, popliteal, dorsalis pedis, dan postibial, nadi mungkin hilang atau tidak teratur untuk di palpasi
Pantau adanya haluaran urin, catat haluaran dan kepekatan/konsentrasi urin
Ginjal berespon untuk menurunkan curah jantung dengan menahan cairan dan natrium, haluaran urin biasanya menurun selama 2 hari karena perpindahan cairan ke jaringan tetapi dapat meningkat pada malam hari sehingga caira kembali ke sirkulasi bila klien tidur
Kaji perubahan pada sensorik contoh letargi, cemas dan depresi
Dapat menunjukkan ketidakadekuatnya perfusi serebral sekunder terhadap penurunan curah jantung

3.      Nyeri berhubungan dengan kompresi akar saraf servikalis, spasme otot servikalis sekunder akibat cidera spinal stabil dan tidak stabil

Tujuan             : Dalam waktu 1x24 jam nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi
Kriteria hasil    :
·         Secara subjectif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi
·         Skala nyeri 0-1
·         Dapat mengidentifikasi kegiatan yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
·         Klien tidak gelisah

Intervensi
Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif
Pendekatan dengan nmenggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri
Lakukan manajemen penangan nyeri
1.      Istirahatkan leher, atur posisi fisiologis, dan pasang ban leher
Posisi fisiologis akan menurunkan kompresi saraf leher. Pemasangan filsasi kolar servikal dapat menjaga kestabilan dalam melakukan mobilisasi leher
2.      Lakukan masase pada otot leher
Masase ringan dapat mningkatkan aliran darah dan membantu suplai darah dan oksigen ke arah nyeroi leher akibat spasme otot
3.      Ajarkan teknik relaksasi napas dalam saat nyeri muncul
Meningkatkan asupan oksigen sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia
4.      Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri
Distraksi dapat menurunkan stimulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung
Pengetahuan yang diberikan akan membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kapatuhan klien terhadap rencana terapeutik

4.      Gangguan pemenuhan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan fungsi miksi sekunder akibat kompresi medulla spinalis

Tujuan             : Dalam waktu 1x24 jam eliminasi urin dapat terpenuhi
Kriteria hasil    :
·         Klien terlihat mampu melakukan pemenuhan eliminasi urin secara bertahap
·         Klien mengetahui cara latihan yang diberikan

Intervensi
Rasional
Kaji tingkat pengetahuan dan kemampuan klien dalam melakukan eliminasi urin
Mengidentifikasikan kemajuan atau penyimpangan dari tujuan yang diharapkan
Lakukan pemasangan kateter
Kateterisasi akan mengeluarkan urin dari kandung kemih dan meredakan inkontinensia urin
Ajarkan bladder training
Latihan kandung kemih atau bladder training dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran urin. Agar bladder training ini berhasil, klien harus menyadari dan secara fisik mampu mengikuti program pelatihan
Monitoring kondisi pengeluaran kateterisasi
Monitor awal untuk mendeteksi adanya infeksi saluran kemih










DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Auhan Keperawatan dengan Gangguan Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Doengoes E Marylinn., et.al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC
Pratama, Arif Lukman Hakim. 2013. Asuhan Keperawatan Cidera Modulla Spinalis. (Online : http://online-ners.blogspot.com/2013/02/asuhan-keperawatan-cedera-medula.html) Diakses tanggal 14 Maret 2014
Carissa, Amelia. 2012. Anatomi dan Fisiologi Medulla spinalis damn Medulla Oblongata. (Online : http://id.scribd.com/doc/127186172/85038367-ANATOMI-DAN-FISIOLOGI-Medulla-Spinalis-Dan-Oblongata.html) Diakses tanggal 14 Maret 2014
Putra, Arif. 2000. Trauma Medulla Spinalis. (Online : http://id.scribd.com/doc/40032648/Trauma-Medula-Spinalis) Diakses tanggal 14 Maret 2014
Moelatte, Antox. 2012. Askep Trauma Medulla Spinalis. (Online : http://id.scribd.com/doc/129007657/Askep-Trauma-Medulla-Spinalis.html) Diakses tanggal 14 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar